Masyarakat Adat adalah masyarakat yang timbul secara alami di wilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, menggunakan dan memanfaatkan sumber kekayaan yang terdapat di wilayahnya. Ciri khas dari masyarakat hukum adat adalah komunal, ikatan lahir batin yang kuat antar anggota baik dikarenakan faktor genelogis, teritorial dan genelogis teritorial. Begitupun dengan kepemilikan harta, ada harta bersama, ada juga yang disebut harta pencarian, harta bersama ini menjadi benteng pertahanan kelangsungan kehidupan bersama di masa-masa genting, diantaranya yang paling utama adalah kepemilikan terhadap tanah, atau yang biasa disebut tanah ulayat, tanah menjadi soal hidup dan mati, menyatu dengan peluh, sehingga hak-hak apa pun yang terkandung menjadi kewajiban pemeliharaan dan penghormatan atas keberlangsungannya.
Tanah Ulayat
Tanahulayat adalah tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat berlandaskan Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Merujuk kepada Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, yang menyatakan bahwa ada beberapa jenis tanah ulayat, yaitu: tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, tanah ulayat kaum, dan tanah ulayat rajo (Perda Sumbar No. 16, Pasal 1 angka 8, 9,10, 11, Pasal 7 ayat 2, Pasal 7 ayat 3, dan Pasal 7 ayat 4). Juga Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya hak ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, Hak Ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.
Konsep Investasi dalam Sistem Kerjasama Syirkah
Syirkah dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada. Sementara dalam terminologi ilmu fikih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut SyirkatulAmlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud (SyirkahTransaksional).
Syirkah disyariatkan berdasarkan ijma’ atau konsensus kaum muslimin. Sandaran ijma’ tersebut adalah beberapa dalil tegas berikut:
Firman Allah: “…tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…” (An-Nisa: 12)
Saudara-saudara seibu itu bersekutu atau beraliansi dalam memiliki sepertiga warisan sebelum dibagi-bagikan kepada yang lain.
Firman Allah: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah.” (Al-Anfal: 41)
Harta rampasan perang adalah milik Rasulullah dan kaum Muslimin secara kolektif sebelum dibagi-bagikan. Mereka semua-nya beraliansi dalam kepemilikan harta tersebut.
Riwayat yang sahih bahwa Al-Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam keduanya bersyarikat dalam perniagaan. Mereka membeli barang-barang secara kontan dan nasi’ah. Berita itu sampai kepada Rasulullah SAW. Maka beliau memerintahkan agar menerima barang-barang yang mereka beli dengan kontan dan menolak barang-barang yang mereka beli dengan nasi’ah.
Macam-macam Syirkah
Syirkah itu ada dua macam: Pertama, SyirkahHak Milik (Syirkatul Amlak).Yaitu per-sekutuan antara dua orang atau lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan. Kedua: Syirkah Transaksional (Syirkatul Uqud).Yakni akad kerjasama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan. Pada dasarnya kembali kepada perjanjiannya, dan ada juga yang kembali kepada kepemilikan.
Rukun-rukun Syirkatul Tradisional:Pertama, Dua transaktor. Kedua, Objek Transaksi. Objek transaksi ini meliputi modal, usaha dan keuntungan.
Pembangunan Jalan Tol di atas Tanah Ulayat dan Konsep Investasi dalam Sistem Kerjasama Syirkah
Selang beberapa pekan belakangan, riuh pembahasan terkait eksistensi masyarakat minang. Ditandai dengan dua peristiwa yang secara politis mau tidak mau akan terhubung dengan caranya sendiri. Sebut saja Pembangunan Jalan tol Padang-Pekanbaru yang dikabarkan macet, terkendala menunggu penyelesaian adminitrasi tanah (tanah ulayat) dan kabar terkait pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil, meminta Gubernur Sumatera Barat untuk segera mempercepat target sertifikasi tanah di Ranah Minang.
Bentuk persetujuan bahwa dua topik di atas tidak lepas dari pertanyaan bagaimana eksistensi masyarakat Minang, pada artikel terbitan https://tarbiyahislamiyah.id/ (12/07/20). Hari ini kita, anak nagari, bundo kanduang, niniak mamak, cadiak pandai, alim ulama, menghadapi sebuah pertanyaan penting, apakah makna kehadiran proyek tol Padang-Pakanbaru tersebut bagi 74 nagari beserta kaum dan suku yang hidup di dalamnya? Pertanyaan kedua, apakah makna dari sertifikasi tanah ulayat atau pusako kaum bagi eksistensi kaum atau suku, nagari-nagari, bahkan Minangkabau ke depan?
Pembangunan Jalan tol Pekanbaru-Padang yang kabarnya mencapai nilai Rp78 triliun yang ditandatangani pada 11 Oktober 2017.Terdiri dari enam seksi, yaitu Seksi 1 Padang-Sicincin, Seksi 2 Sicincin-Bukittinggi, Seksi 3 Bukittinggi-Payakumbuh, Seksi IV Payakumbuh-Pangkalan, Seksi V Pangkalan-Bangkinang, dan Seksi 6 Bangkinang-Pekanbaru. Secara keseluruhan jalan tol Pekanbaru-Padang akan ditargetkan beroperasi pada 2025.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan pembangunan jalan tol ini diharapkan dapat meningkatkan perekonomian khususnya pertanian, industri dan pariwisata. “Kehadiran jalan tol ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi mengatasi kepadatan lalu lintas terutama arus komoditas,” ujarnya. Cepat lambatnya pembangunan jalan tol ini semua tergantung pada tahapan pembebasan lahan berupa ganti untung pembebasan lahan, (Lihat selengkapnya pada Artikel https://ekonomi.bisnis.com/(13/07/2020).
Tentu ini tidak hanya kabar baik tentang pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian khususnya pertanian, industri dan pariwisata saja. Lebih lanjut, proyek ini tidak boleh mengenyampingkan hak-hak masyarakat terdampak. Sebagaimana terdapat pada temuan Walhi menunjukkan bahwa proyek ini akan melintasi sawah-sawah, lahan-lahan produktif, dan pemukiman masyarakat di 74 nagari, 20 kecamatan dan 7 kabupaten-kota. Sebagian besar berstatus tanah pusako. Tanah pusako merupakan tanah yang dimiliki secara komunal yang diwariskan secara turun-temurun di Minangkabau (Lihat Artikel terbitan https://sumbarsatu.com/ pada tanggal 05/07/2020).
Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa tanah ulayat merupakan harta pusaka (materil) yang kepemilikannya secara komunal oleh kaum atau masyarakat adat di wilayah Minangkabau. Berfungsi sebagai simpanan dan cadangan dalam masa-masa sulit untuk pemenuhan kebutuhan anak kemenakan kemudian hari. Maka sepatutnya pengerjaan proyek apapun yang bersinggungan langsung dengan tanah ulayat, harus mempertimbangkan fungsi kultural dari tanah ulayat tersebut, agar tidak ada pihak yang dirugikan, sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945 terhadap penjagaan dan penghormatan kearifan lokal.
Jika Pembangunan Jalan tol Pekanbaru-Padang berlanjut, maka seharusnya tidak ada pihak yang merasa diberatkan, seperti adanya konsep investasi dalam sistem kerjasama Syirkah yang menawarkan bentuk kerjasama antara dua transaktor (kaum adat pemilik tanah ulayat dan pemerintah sebagai reprsentasi negara). Tanah ulayat dan pengadaan jalan tol menjadi modal masing-masing dalam usaha jalan tol, yang pada dasarnya saling menanam modal dan saling menguntungkan sesuai perjanjian di awal. Tetapi, jika Pembangunan Jalan tol Pekanbaru-Padang tidak menuai titik terang, kusuik sarang tampuo, api manyudahi. Opsi perbaikan infrastruktur lainnya bisa jadi alternatif, perbaikan transportasi Kereta Api, memaksimalkan Usaha Mikro berbasis kerakyatan, Dll, misalnya.
Dimuat di tarbiyahislamiyah.id