Saya pertama kali memasuki gerbang sekolah Madrasah Tarbiyah Islamiyah Pasir tiga puluh tahun lalu. Ada rasa ragu dan ada rasa tidak yakin pada diri saya saat itu. Apakah akan bisa atau tidak menjadi murid Almukarram Ustadz H. Awiskarni Husin.
Saya tidak yakin bersekolah ke MTI Pasir karena atas permintaan orang tua, bukan atas keinginan sendiri. Tapi kemudian ada perasaan yang berbeda ketika bertemu dengan Ustadz H. Awiskarni Husin. Rasanya hati ini sudah pasrah dan rela saja untuk sekolah di sini, meski tidak tahu nanti akan bisa belajar apa, akan kemana, serta jadi apa.
Kenapa saya enggan menjadi santri di Pondok Pesanteren? Ini karena persepsi masyarakat yang saya lihat kala itu. Pondok Pesantren hanya akan mencetak “garim masjid, guru TPA” atau kalau tidak, menjadi penghulu.
Karena santri dianggap orang yang tidak punya masa depan sama sekali. Kira-kira begitulah pandangan orang terhadap santri tiga puluh tahun yang lalu.
Ketika mendaftar di sekolah Tarbiyah ini, saya diantar Bapak. Kami bertemu langsung dengan Ustadz H. Awiskarni Husin. Kemudian kami diajak masuk ke dalam kantor sekolah sembari berbincang-bincang. Tidak lama kemudian, tiba-tiba Ustadz mengajukan pertanyaan kepada saya. “apa tujuan sekolah di sini?” Saya hanya menjawab dengan senyum.
Saya tidak mampu menjawab pertanyaan itu sebenarnya disebabkan rasa malu. Atau, tidak tahu juga mau menjawab apa. Saya merasakan Ustadz sangat paham dengan saya. Akhirnya beliau mengalihkan obrolan dengan menyarankan kepada saya, untuk taat dan patuh jika sudah mulai bersekolah di sini. Peraturan sekolah haruslah memakai baju kurung dan bermudawwarah. Saat Ustadz menyatakan begitu, rasanya hati semakin tenang dan mendapatkan pencerahan.
Hal lain yang membuat jatuh cinta pada sekolah Tarbiyah Islamiyah adalah lingkungan sekolah yang bersih meski saat itu gedung sekolah masih kecil. Buya H. Awiskarni sering mengatakan sekolah yang sebesar ‘kotak api-api’ ini harus dirawat dan dijaga kebersihannya. Kebersihan membuat “Rona Sekolah” jadi berbeda. Itu yang selalu saya ingat. Di sini saya merasakan bahwa Annazha fatu minal iman itu harus dilaksanakan, bukan cuma dikhotbahkan.
Si Pintar dan Si Bodoh
Kalau bicara sekolah dan guru, saya melihat dan merasakan sosok guru ideal ada dalam diri Ustadz H. Awiskarni Husin. Kenapa? Karena di dunia ini setiap orang pasti punya pekerjaan yang menjadi panggilan jiwa dan hati nuraninya.
Saya akan menceritakan di bawah ini, bagaimana menjadi guru adalah panggilan jiwa beliau. Menjadi orang tua misalnya, orang tua bukan saja orang yang sekedar mampu melahirkan anak akan tetapi menjadi orang tua yang sadar bahwa sosoknya adalah menjadi roh atau dia adalah sosok yang menjadi panutan anak-anaknya. Berkorban apapun demi anak-anaknya, itulah orang tua.
Orang tua adalah guru pertama yang dikenal oleh anak. Pendidikan keluarga menentukan bagaimana pendidikan selanjutnya di sekolah. Begitu juga dengan guru, guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Kalau guru bersikap tidak sesuai dengan roh dan jiwa maka sosok guru hanya akan terasa di dalam kelas, tidak akan kelihatan sampai pada laku hariannya.
Ustadz Awiskarni bagi saya guru ideal. Selama tujuh tahun berguru pada beliau belum pernah saya mendengar pujian beliau langsung kepada murid yang juara kelas. Namun kalau pertanyaan beliau lontarkan di kelas tidak terjawab barulah beliau sedikit marah dengan marah khas yakni mencubit muridnya. Punishmen dari cubitan itulah yang kadang menjadi kerinduan tersendiri para murid sebagai motivasi belajar.
Bagi Ustadz H. Awiskarni menjadi guru adalah panggilan jiwa yang lahir dari hati, bukan hanya karena profesionalisme saja. Ini bisa dilihat dari cara beliau menjaga dan merawat sekolah. Perjuangan beliau membangun sekolah dari awal bersama ayah beliau sampai menjadi sekolah bergedung megah saat ini sangatlah berat. Begitu juga kecintaan beliau pada sekolah. Beliau adalah orang yang selalu datang lebih awal ke sekolah dari siapapun. Tidak hanya itu, sesampai di sekolah selalu berkeliling melihat kondisi kelas.
Salah satu bukti nyata yang saya rasakan adalah beliau dengan rela juga meluangkan waktu mengajar malam hari. Terutama ketika keinginan kami ingin menamatkan kajian fikih, apalagi bab Munakahat. Beliau malah menyarankan jangan Munakahat saja, akan tetapi zakat dan Haji juga sangat perlu diselesaikan. Beliau berkata, “tujuannya agar kalian mampu mendudukkan kaji ditengah-tengah masyarakat nanti.”
Belajar tambahan malam hari inipun tidak pernah ada tambahan bayaran. Andaikan belajar di malam hari itu ada uang tambahan pastilah bisa dihitung dengan jari murid yang akan hadir. Ini membuktikan bahwa mengajar itu bagi Ustadz H. Awiskarni menjadi panggilan jiwanya. Memang ini terdengar sederhana, tapi bagi saya ini adalah bukti bahwa menjadi guru adalah panggilan jiwa Ustadz H. Awiskarni Husin.
Saya tahu diri saya. Selama sekolah, saya adalah murid yang biasa-biasa saja. Tidak pintar, tapi juga tidak bodoh. Tidak juara, tapi juga tidak berada di nomor kuncit. Bagi saya rangking dan nilai itu tidaklah penting. Saya selalu ingat pesan Bapak saya, “belajar adalah kewajiban. Rangking itu bonus.” Kalau sekolah mencari rangking yang didapatkan adalah rangking saja. Namun kalau sekolah diniatkan mencari ilmu yakinlah ilmu itu adalah akan kekal abadi.
Sejak saat itu saya tidak pernah merasa berkecil hati lagi ketika tidak mendapatkan rangking kelas. Saya terus saja belajar dan menikmati pelajaran yang saya senangi. Tidak peduli juga guru mau sayang kepada saya atau tidak. Saya juga tidak pernah cari muka untuk dekat dengan guru dan berharap disayang. Kasih sayang yang saya inginkan dari guru adalah kasih sayang guru kepada murid yang tanpa embel-embel. Bukan karena muridnya pintar, bukan karena muridnya kaya bukan karena murid yang ganteng atau cantik.
Kelegaan seperti ini akhirnya menundukkan diri saya untuk tidak kompetitif dalam hal apapun. Karena perengkingan akan melahirkan generasi kompetitif dalam hal apapun juga di dunia ini. Hari ini saya berfikir, jika kompetisi ini dirawat maka yang terjadi adalah kompetisi untuk memenuhi hasrat (desire) agar semuanya ingin dipenuhi, padahal dalam kajian tasawuf menundukkan hasrat perlu dilatih.
Sekarang, saya menyadari bahwa penilaian dan perengkingan melahirkan manusia-manusia yang berkompetisi dalam masalah apapun di dunia. Sehingga untuk memuaskan hasratnya mereka tidak malu melanggar hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan mereka lakukan.
Contoh sederhana misalnya, mencontek atau sengaja membuat contekan (jimat) saat ujian adalah usaha untuk mendapatkan nilai bagus. Ketika contekan berhasil dilihat maka yang didapatkan adalah nilai saja, yang lain wallahualam. Jadi nilai adalah alat ukur saja, yang lain ilmu pengetahuan adalah tinggal pada diri kita masing-masing. Menjadi orang pintar itu mudah, namun menjadi pintar sekaligus orang baik dan beradab itu yang sulit.
Apa kaitannya dengan Ustadz H. Awiskarni Husin? Pengetahuan dalam dunia pendidikan bagi Ustadz H. Awiskarni adalah repetisi (pengulangan-kaji). Jadi, kalau rajin mengaji dan selalu hadir di sekolah insya Allah akan dapatlah kaji yang dicari. Artinya tanpa disadari Ustadz H. Awiskarni telah mentransfer ilmu pengetahuan yang dia punya kepada murid-muridnya tanpa tahu siapa yang akan berhasil, akan jadi apa atau akan dicetak menjadi sosok seperti apa. Tidak pernah sekalipun saya mendengarkan beliau berharap muridnya akan jadi pejabat ini atau itu, akan jadi ahli ini atau itu.
Cuma yang sering beliau tekankan adalah tafaqquh fiddin (bersungguh-sungguh dengan agama). Contoh sederhana adalah peran beliau di tengah masyarakat. Bagaimana beliau mempertahankan lafadz nikah dengan bahasa letterlijk di tengah masyarakat. Ini adalah upaya yang beliau lakukan agar tidak salah dalam memahami makna lafadz nikah tersebut. Ini bukti bahwa beliau teguh dengan kaji.
Belajar dari sosok Ustadz H. Awiskarni beliau tidak menjadikan sekolah sama dengan perusahaan, menerapkan system nilai saja dan seleksi yang begitu ketat untuk para muridnya atau guru-guru. Terbukti ini yang terjadi saat saya sekolah di awal tahun 1990-an, sebelum pelaksanaan ujian Akhir di Sekolah Dasar, beliau sudah membuka pendafatran siswa. Artinya nilai akhir tidak penting bagi beliau. Yang penting itu adalah kemauan bersekolah dan mengaji.
Bisa jadi di sisi lain, beliau berfikir, andaikan murid-murid dites, bagaimana perasaan mereka yang tidak lulus tes? Tanpa belajar psikologi Ustadz H. Awiskarni sesungguhnya sudah jadi psikolog.
Saya kira Ustadz H. Awiskarni Husin sudah membuat sekolah kemanusiaan. Orang yang datang ke sekolah adalah orang-orang yang benar-benar ingin belajar. Namun kapan sekolah berubah? Perubahan itu terjadi saat arah dan kurikulum di dunia pendidikan berubah-rubah, yang disebabkan perubahan kebijakan, terutama perubahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan efeknya kebijakanpun berganti.
Tentu saja ini mempengaruhi kebijakan-kebijakan. Inilah yang mempengaruhi sekolah. Apalagi saat sekolah tidak bisa lepas dari tujuan negara atau pemerintah, maka sekolah mau tak mau, rela atau tidak rela harus mengikuti. Salah satunya alasan Ustadz, memutuskan untuk membuat pamflet sekolah dan plang sekolah karena kepentingan akreditasi. Akreditasi tujuannya hanya satu yakni, berkualitas, berdaya saing, akhirnya antara sekolah satu dengan sekolah lain haruslah bersaing. Sekali lagi berkompetisi.
Persaingan dengan dalih ‘agar berkalitas’ sehingga membuat murid semakin terkotak-kotak. Ada murid yang berada di kelas unggul dan murid yang berada di kelas reguler. Di mana murid di kelas reguler/biasa adalah murid Bengal dan bodoh. Tidak istimewa. Kalau dipikir apa gunanya pembedaan ini? Bukankah ini hanya menjadi kotak baru lagi di samping kotak yang sudah ada di tengah masyarakat, misalnya antara si kaya si miskin, si cantik si buruk rupa, si kota dan si desa? Lalu dimana letaknya sekolah itu memanusiakan manusia, kalau manusianya sendiri dibedakan hanya dari kemampuan belajar.
Jadi, tidak jarang hari ini ditemukan sekolah alternatif yang didirikan oleh aktivis pendidikan karena ingin mengkritik sekolah yang tidak lagi membebaskan ekspresi anak, dan menerima kemampuan murid sembari menjalani proses belajarnya.
Padahal ilmu pengetahuan itu bisa juga lahir dari pengalaman harian murid, lalu apa gunanya anak pintar kalau tidak punya pengalaman hidup. Setiap murid itu unik, mereka istimewa dengan caranya sendiri. Dalam ketidakseragaman, mereka menunjukkan pola belajar yang penuh energi, inilah yang harus dihargai dari mereka peserta didik. Menyayangi yang pintar dan mengabaikan yang bodoh adalah kesalahan fatal.
Terakhir, sekolah bukanlah ajang kompetisi, namun sekolah adalah tempat membangun manusia yang utuh. Manusia yang utuh adalah manusia yang memahami, menyadari dan melakukan apa yang dia pelajari, baik dari bacaan atau dari pengalaman.
Kalau sekolah menjadi ajang kompetisi, maka yang akan terbangun adalah manusia yang selalu bersaing, dan bersaing berujung pada kalah dan menang. Kalah menang akhirnya membawa pada permusuhan. Padahal prestasi yang sesungguhnya adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan mengandalkan kemampuan baik intelektual, emosional dan spiritual, serta ketahanan diri dalam menghadapi situasi segala aspek kehidupan.
Saya bersyukur pernah jadi murid H. Awiskarni Husin. Seorang guru yang tidak mengotak-ngotakkan muridnya ke dalam kandang bernama pintar dan bodoh. Saya bersyukur punya tauladan seperti beliau, yang tidak menganggap murid-muridnya sebagai kuda pacuan yang disuruh berlomba mengejar garis finis bernama prestasi dan nilai. Saya salut pada beliau, yang tidak jadi budak akreditasi. Atas semua ilmu dan jasa dari beliau, saya mengajak kita semua membaca al-Fatihah untuk arwah Ustadz H. Awiskarni Husin.
Wallahu’alam bisshawab.
– Devi Adriyanti, M.S.I