Beragama di Masa Pandemi

Artikel

Jakarta -Pandemi Covid-19 telah mengubah kehidupan masyarakat seratus delapan puluh derajat. Perubahan itu terjadi dalam segala bidang. Ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, kemasyarakatan, dan agama. Pandemi yang tak kunjung selesai ini memaksa manusia di seluruh penjuru dunia untuk berpikir keras dan berinovasi agar kehidupan tetap terus berjalan.

Beragam cara sudah ditempuh agar Covid-19 tidak mewabah dan angka penyebarannya dapat ditekan. Tetapi tanda-tanda keadaan akan membaik belum terlihat. Alih-alih berhenti, masyarakat dunia justru mewanti-wanti ancaman gelombang kedua Covid-19.

Perekonomian semakin melemah. Jutaan orang kehilangan pekerjaan. Angka pengangguran bertambah. Proses pembelajaran menjadi kacau. Pemerintah gagap. Bahkan kehidupan beragama berantakan. Semua menjadi tak menentu dan serba tak pasti.

Pada bulan pertama penanganan Covid-19, masyarakat kita mencurigai pandemi sebagai intrik politik kekuasaan. Sebab pada saat yang bersamaan publik melihat tanda-tanda pemanfaatan situasi itu untuk menjalankan agenda politik. Imbauan untuk menjaga jarak di ruang publik tidak diindahkan.

Dalam beberapa pemberitaan disebutkan bahwa ada kelompok-kelompok kecil masyarakat yang memaksakan diri untuk tetap menjalankan ibadah di wilayah sebaran Covid-19 paling banyak. Seruan agar warga beribadah di rumah dipahami oleh sebagian kecil umat beragama sebagai tindakan menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya.

Oleh kelompok ini ikhtiar menjaga keselamatan dari ancaman Covid-19 diyakini merusak iman –orang dianggap menjadi lebih takut pada makhluk dari pada Sang Pencipta. Di pihak lain ada orang yang mengalami takut luar biasa. Mereka mengurung diri, putus bersosial sama sekali, dan bahkan tidak mau bertemu dengan orang lain.

Dalam pandangan agama kedua sikap tersebut merupakan sikap yang berlebihan. Kelompok pertama berlebihan dalam menggantungkan nasibnya pada Tuhan tanpa mau berusaha dan berikhtiar. Sedang kelompok kedua adalah mereka yang semata-mata percaya pada usahanya sendiri tanpa melibatkan kehendak Tuhan.

Tipologi Teologis

Menurut teologi Islam, kelompok pertama biasa disebut sebagai penganut Jabariah. Mereka adalah orang yang hidup menyerah pasrah pada kehendak Tuhan tanpa mau berusaha, bekerja keras, dan melakukan yang terbaik untuk menghindari bahaya, keburukan, dan kejahatan. Mereka percaya bahwa usaha manusia tidak akan dan mengubah apapun.

Sementara kelompok kedua adalah mereka yang disebut sebagai penganut teologi Qadariyah. Mereka adalah orang yang mengandalkan usaha individu dan percaya bahwa apa yang mereka peroleh merupakan konsekuensi dari usaha yang dilakukan. Hidupnya ditentukan oleh usahanya sendiri.

Terkait dengan pandemi Covid-19, kelompok pertama akan hidup normal dan santai meski di tengah ancaman virus. Ketika mereka terinfeksi virus, mereka percaya hal itu bukan karena mereka tidak menjaga jarak sosial melainkan karena Allah menghendaki demikian. Sementara kelompok kedua akan sangat awas terhadap segala yang dianggap dapat menjadi medium penyebaran Covid-19. Bila mereka terinfeksi, maka hal itu karena abai dengan protokol kesehatan belaka.

Bila ditinjau lebih jauh dengan mempertimbangkan perkembangan Islam di Indonesia, nyaris tidak ditemukan kelompok yang murni menganut salah satu dari kedua paham tersebut. Sebab teologi Islam yang berkembang di dunia Melayu-Indonesia selama berabad-abad adalah teologi wasathiyah (moderat), teologi aliran Asy’ari atau Maturidi.

Kelompok ini adalah mereka yang percaya penuh pada kuasa dan ketentuan Tuhan terhadap segala sesuatu, namun pada saat yang sama mereka juga percaya bahwa manusia wajib untuk berusaha, berikhtiar dan melakukan yang terbaik. Hasil dari usaha dan ikhtiar itu, baik atau buruknya, diyakini sebagai takdir Tuhan bukan konsekuensi dari usaha yang dilakukan.

Akidah Moderat

Muslim Indonesia pada umumnya adalah penganut paham terakhir ini. Mereka adalah orang yang percaya sungguh-sungguh bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak dan ketentuan Tuhan. Tetapi kehendak Tuhan itu berjalan seiring dengan usaha manusia.

Atas alasan ini umat Islam Indonesia menjadi orang yang bekerja sungguh-sungguh dalam hidup dan mereka menerima dengan hati terbuka apapun hasil yang mereka peroleh. Sebab mereka percaya bahwa ikhtiar dan usaha hanyalah kewajiban manusia sebagai makhluk bukan penentu hasil akhir.

Namun kenapa dalam menghadapi Covid-19 keyakinan moderat ini cenderung tidak muncul sebagai pegangan hidup? Sehingga banyak orang terlalu abai dengan bahaya dan terlalu takut dengan ancaman?

Jawaban paling mungkin terhadap masalah ini adalah rendahnya literasi teologis wasathiyah. Persoalan teologis atau akidah moderat ini jarang menjadi pokok pembicaraan dalam mempelajari Islam belakangan ini. Masalah Islam paling banyak dibahas adalah masalah hukum, halal-haram. Padahal dasar dan fondasi Islam itu adalah teologis, di antaranya kepercayaan terhadap kehendak dan ketentuan Tuhan.

Lemahnya literasi teologis moderat membuat orang terkadang berperilaku selayaknya Tuhan, menjadi hakim bagi keimanan orang lain. Sementara dengan berlandas pada kepercayaan kepada Tuhan, kehendak dan ketentuan-Nya orang akan mengerti posisi dan statusnya sebagai manusia dan makhluk. Dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini orang akan berhati-hati dalam hidup, peduli pada kesehatan tanpa ketakutan berlebihan dan tanpa kehilangan harapan hidup.

Muhammad Yusuf el-Badri mahasiswa Program Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dimuat di detik.com

Yuk Bagikan