Poto/Dok. Devi Adriyanti
Kearifan Relasi Mamak-Kamanakan
Pada banyak kesempatan sepanjang 1996-1999, di sela menyurahkan kaji, Beliau sering berkucindan (menyampaikan saran melalui gurauan; guyonan; humor) pada kami, untuk memanggil Beliau dengan sebutan Mamak, bukan Ustadz bukan pula Buya, apalagi Bapak. Saya dan mungkin juga para murid Beliau yang mendengar ketika itu, diam-diam menggumamkan keheranan: mengapa harus memanggil mamak kepada Beliau? Secara adat di Minang, panggilan Mamak ini tepat kalau si pemanggil sesuku dengan yang dipanggil. Sebaliknya, tentu tidak tepat bila si pemanggil tidak sesuku dengan yang dipanggil.
Menanggapi keheranan kami, Beliau menambahkan penjelasan: “Kalau kalian memanggil saya Ustadz atau Buya, jarak kita terasa agak jauh. Kalau kalian memanggil saya Mamak, jarak kita terasa lebih dekat….” Saya teruskan pernyataan Beliau ini dengan penafsiran bahwa dalam e[ste]tika keminangkabauan, relasi mamak-kamanakan tidak saja soal hubungan yang terbentuk akibat struktur atau stratifikasi sosial. Lebih khas dari itu, hubungan mamak-kamanakan terjalin dari garis rahim; nasab; bahkan sangat erat secara batin. Dari guru, murid mendapatkan kaji. Dari mamak, selain mendapatkan kaji, kamanakan juga mewarisi pusako.
“Malawan ka guru, ilang kaji. Malawan ka mamak, abih arato (melawan ke guru, kehilangan kaji. Melawan ke mamak, kehabisan harta),” ucap Beliau pada kesempatan yang sama, saat itu kami Beliau ajak membantu tukang bekerja menyelesaikan pengembangan bangunan madrasah kami yang baru, sudah dimulai sejak akhir 1996. Maknanya tidak berhenti sampai di sini. Beliau tambahkan, andaikata pada diri guru atau pun mamak terdapat sumbang-salah, lawan mamak jo pituah, bantah guru jo kabanaran (mamak dapat dilawan dengan petuah, guru bisa dibantah dengan kebenaran). Jangankan terhadap guru atau mamak, terhadap kedua orangtua pun, kalau terdapat sumbang-salah ajaran, ada kebolehan untuk tidak mematuhi keduanya.
Penafsiran saya ini barangkali berbias pandangan personal, tetapi memang demikianlah suasana batin yang saya rasakan saat belajar dengan Beliau. Saya merasa sedang dilatih estetika berkawan, sekaligus dididik bagaimana etika melawan. Abstraksi kebenaran yang terkandung dalam kaji Tabiyah Islamiyah yang ahlu sunnah wal jama’ah dan bermazhab Syafi’i mesti menemukan buminya, meruang ke alam Minangkabau. Kaji itu tidak dibiarkan melayang-layang begitu saja di atas langit. Sering Beliau sampaikan ketika menyurahkan paragraf pembuka kitab ilmu mantiq, Sulamul Munawraq karya Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Akhdhari, bahwa ilmu bekerja untuk menyingkap tabir ketidaktahuan yang menutupi langit akal para pencari ilmu, hingga keagungan pengetahuan (syumūsu al-ma’rifah) tampak jelas di hadapan mereka.
Jika semangat ini ditelusuri ke pangkal, maka sanad keilmuannya akan terhubung dengan upaya menyulam tali adat dan syara’ yang sebelumnya telah dicurai-paparkan oleh ruh ketarbiyahan Almukarram Syekh Muhammad Jamil (Baliau Jaho: 1875-1945), Syekh Abdul Wahid as-Shalihi (Baliau Tobek Godang 1878-1950), dan Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang: 1871-1970), serta syekh dan Buya dari beberapa Madrasah Tarbiyah Islamiyah lainnya yang ada di Minangkabau.
Filosofi Ketarbiyahan dan Harmonisasi Lintas Mazhab
Menjadi murid (sebutan lainnya: anak siak/anak tarbiyah) di MTI Pasia, jelas bersanad ilmu kepada Beliau (Buya Awiskarni Husein: lahir Ahad, 19 Agustus 1945/11 Ramadan 1364 H). Di penghujung kelas tujuh, ijazah ilmu itu Beliau akadkan kepada para muridnya. Meskipun secara majazi, Beliau mengakadkan diri sebagai Mamak, namun saya yakin, hakikat diri Beliau sebagai Guru, Ustadz, atau Buya, tetap melekat di sanubari setiap orang yang pernah menjadi muridnya, lengkap dengan kesan-kesan tak terlupakan masing-masing.
Hal tak terlupakan yang lain bagi saya dan ini memberi pengaruh pada pilihan saya kemudian dalam menyukai karya sastra adalah berkenalan dengan ragam nazam dalam kitab-kitab nahu, sharaf, mantiq, dan balaghah. Dari majelis ilmu Beliaulah saya mengenal syi’ir Ali bin Abu Thalib, bahwa “Ana ‘abdu man ‘allamani harfan, in sya`a ba’a, wa in sya`a a’taqa, wa in sya`a istaqarra” (aku adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepadaku. Apabila ia mau, ia boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku). Lebih spesifik, Beliau juga menyiram kehausan saya akan ilmu senada dengan ungkapan yang teduh: Law la al-murabbī, mā ‘araftu rabbī (kalau saja bukan karena tuntunan murabbiku, manalah mungkin dapat kukenali Rabbku).
Singkatnya, ihwal seputar ingatan belajar dengan Beliau, memandu pemahaman saya dalam menjawab: apa makna menjadi anak Tarbiyah? Dari Beliau saya pelan-pelan mencoba menggali pengertian bahwa Tarbiyah itu mashdar berwazan taf’īl dari fi’il madhī mazid rabba-yurabbi-tarbiyan, yang bermakna pengasuhan, pengayoman, atau pemeliharaan. Secara bahasa, rumpun kata tarbiyah juga dapat dipetik dari fi’il madhī mujarad rabā yang bermakna tumbuh-kembang. Melalui pendekatan ma’aniy yang Beliau kenalkan, jangan pula sampai diabaikan, bahwa dalam Tarbiyah itu ada kalimah Rabb. Dengan kata lain, bertarbiyah adalah lintasan proses menuju kemashlahatan hidup di dunia dan akhirat yang ridha dan diridhai Rabb al-‘Ālalmīn: Allah SWT.
Filosofi ketarbiyahan ini Beliau ajarkan tidak saja melalui rumusan-rumusan normatif dalam ruang lingkup aqīdah, ‘ibādah, dan muāmalāh yang tersusun dalam hukum syara’ praktis semata, melainkan juga Beliau contohkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Beliau selalu mengaitkan surah kaji ke peristiwa dan praktik-praktik mutakhir yang Beliau temui di tengah masyarakat sepanjang perjalanan dakwahnya, seperti bagaimana jual beli, pegang gadai, kerjasama perniagaan, pertanian, menabung di bank, atau seperti apa idealnya bangunan pernikahan dalam fikih. Bab dan pasal pada kajian fikih itu, selain pembahasan bab taharah, salat, zakat, dan haji, menjadi kecenderungan utama dari surah kaji Beliau. Ini semacam apresiasi Beliau bagi murid yang rata-rata berasal dari keluarga petani dan pedagang/pengusaha konveksi yang selalu berurusan dengan praktik jual-beli. Apresiasi Beliau terhadap latar perekonomian keluarga para murid ini juga berdampak kepada keputusan Beliau, meneruskan tradisi sang Ayah: Buya Husein Amin, untuk meliburkan kegiatan belajar di hari Sabtu. Para murid diberi kesempatan membantu orangtua di hari pekan Bukittinggi itu.
Dalam hal menghadapi perbedaan mazhab di tengah masyarakat, misalnya saat bulan Ramadan, di Masjid Jami’ Pasia IV Angkek, salat Tarawih dilaksanakan dua gelombang. Delapan rakaat salat tarawih ditambah tiga rakaat witir adalah gelombang pertama. Makmumnya berasal dari jamaah yang melaksanakan salat qiyamu al-lail sebelas rakat. Delapan rakaat pada gelombang pertama ini dilaksanakan bersama-sama. Ketika delapan rakaat selesai dan jamaah melaksanakan witir, maka jamaah yang akan salat 23 rakaat undur diri dulu. Selanjutnya, setelah salat sebelas rakaat selesai, Beliau akan mengimami lanjutannya, dari rakaat ke sembilan hingga rakaat 23. Sebuah pengalaman bersama Beliau yang menunjukkan bahwa harmonisasi atas perbedaan mazhab fikih di tengah masyarakat itu bisa diciptakan.
Rumah Gadang Bahalaman Lapang
Mamak kami, Buya H. Awiskarni Husein, dalam versi tulisan ini, ibarat rumah gadang bahalaman lapang (rumah besar berhalaman lapang). Sebagaimana disinggung di awal, Beliau menjadi guru karismatik yang mempunyai pola pendekatan khas dalam mendidik murid-muridnya. Ungkapan ini merupakan kristalisasi dari pengakuan sejumlah alumni MTI Pasia yang sempat saya serap dan coba kembali dihimpun dalam tulisan singkat ini. Tentu masih banyak kesan dan kenangan berharga lain yang membekas dalam jiwa murid-muridnya.
Di antara yang dapat saya ingat, dalam hal menjelaskan bagaimana idealnya thaharah (kebersihan/kesucian) dalam keseharian, pada waktu-waktu tertentu, kami para murid boleh datang ke kediaman Beliau. Momen ini juga tak kalah mengesankan. Kebahagiaan dapat mengunjungi rumah guru ini, sangat baik bagi perbaikan motivasi belajar, sekaligus, karena sang guru adalah Mamak, tertumpang motivasi perbaikan gizi.
Di rumah Beliau yang asri itulah kami mencermati bagaimana tata ruang rumah berbasis fikih syafi’iyah. Mulai dari bagaimana membersihkan pakaian dengan mesin cuci diatur sedemikian rupa sehingga pakaian itu terjaga kesuciannya. Pertimbangkan debit air yang dipakai dengan mesin cuci, harus air yang suci lagi mensucikan, harus lebih dua kullah (luas/diameter wajan air minimal selingkar pergelangan tangan orang dewasa) dan air itu tidak boleh berubah warna dan baunya. Bagaimana posisi toilet di tinggikan guna menghindari percikan hadas ke badan atau ke pakaian saat beraktivitas di kamar mandi. Berapa komposisi jarak antara kamar mandi, tempat berwuduk, dan musala di dalam rumah, semua kami pahami persis seperti fikih yang Beliau ajarkan di kelas. Ini belum lagi soal bagaimana memasang niat sebelum salat, bagaimana khotbah yang benar, dan yang paling penting, dan ini menurut saya adalah jantung ketarbiyahan, bagaimana cara zikrullah dan berselawat kepada Rasul-Nya.
Bilamana di siang hari pembahasan sebuah topik kajian dalam kitab kuning itu terhenti karena dibatasi waktu, maka malam harinya Beliau bersedia menambahkan penjelasan. Kami belajar sepanjang hari. Pagi sampai zuhur, belajar kitab kuning. Ini kurikulum Masdrasah. Setelah Zuhur sampai setelah Asar belajar ilmu umum sesuai kurikulum yang ditentukan oleh Kementrian Agama.
Mengaji malam ini, bagi generasi saya, khusus kelas tujuh, adalah momen yang sangat dinanti-nanti. Selain karena suasananya sejuk, topik yang dikaji pun boleh kami pilih. Karena topik yang paling menarik dan menantang bagi murid seusia saya waktu itu adalah pernikahan, maka kami sering memilih topik ini, selain topik di bidang tauhid dan tasawuf.
Dapat dibayangkan, betapa menariknya membahas fikih munakahat di usia 18 tahun. Pola penjabaran yang Beliau pilih pun, berbasis kearifan Minangkabau: syara’ batilanjang, adaik basisampiang (narasi syara’ denotatif, narasi adat konotatif -saya belum bisa mengalih bahasakan adagium ini dengan baik). Tidak jarang, kelas itu riuh-rendah karena keriangan kami. Angin dingin yang berembus dari lereng gunung Marapi tak lagi jadi persoalan bagi kami ketika membahas bagaimana petunjuk fikih dalam memperlakukan istri secara badaniah dan batiniah.
Sebaliknya, juga dijelaskan bagaimana istri melakoni peran kemitraan dalam rumah tangga bersama suami. Bagaimana etika berhubungan badan dan mandi junub yang benar. Kalaulah relasi batin kami dengan Beliau tidak seperti kedekatan mamak dengan kamanakannya, topik-topik yang cenderung masih ditabukan itu tentu tidak akan sanggup kami bahas. Apalagi, di angkatan kelas kami, ada putri Beliau: Rina Awis.
Bilamana pembahasan memasuki diskursus teologi, biasanya, kaji juga sering tergantung. Maka beberapa di antara kami kerap mengakali, bagaimana bisa datang ke rumah Beliau untuk menanyakan beberapa pembahasan yang belum sepenuhnya dapat kami pahami. Misalnya, bab tentang mengenali diri dan mengenal Allah. Di bagian diri yang mana Allah berada? Yang termaktub di dalil, hanya abstraksi bahwa Allah lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Atau menanyakan makna beberapa syi’ir sufi, asyakalu al-qiyas, cara membuat dan memahami khulashah dan natijah dalam ilmu mantiq, atau penjabaran kaidah fushahah kalam dalam kitab balaghah, yang belum Beliau terjemahkan di kelas. Barangkali Beliau sengaja belum menerjemahkannya dalam kelas, sebab pertimbangan daya serap kami yang masih beragam.
Kedatangan kami ke rumah Beliau selalu gayung bersambut dengan apresiasi yang penuh kejutan. Sebagai hadiah, kata Beliau, kadang kami ditraktir makan nasi goreng ke Simpang Bukik atau diajak ikut mendampingi Beliau menyampaikan tausiyah dan doa syukuran ke rumah jamaah Beliau. Membersamai Beliau dalam momen ini berdampak ekonomis. Istilah Beliau, murid-murid yang Beliau bawa juga mendapat fulus sebagai si sami’ (uang bagi pendengar).
Dari sinilah saya dan barangkali alumni semadrasah lintas generasi yang lain juga demikian, menemukan alasan mengapa Beliau mengkonversi relasi guru-murid menjadi hubungan mamak dengan kamanakan. Suasana kedekatan yang terbentuk dari relasi berbasis kearifan Minangkabau ini, sepanjang proses pendidikan formal yang saya jalani kemudian, memang tidak ditemukan lagi. Menempuh pendidikan dari strata ke strata itu serta relasi guru-murid; dosen-mahasiswa yang melekat di dalamnya, lebih tepat dikatakan sebagai perjalanan administratif saja. Sulit bagi saya mengatakan serangkaian pengalaman tersebut sebagai perjalanan intelektual apalagi dipandang sebagai perjalanan spiritual.
Hari ini, Senin 8 Juni 2020 M/16 Syawal 1441 H, Beliau: Almukarram Buya H. Awiskarni Husein tutup usia. Innā li Allahi wa innā ilaihi rājiūn. Sebagai salah seorang murid sekaligus yang pernah Beliau anggap kamanakan, saya kehilangan. Keluarga Beliau kehilangan. Persatuan Tarbiyah Islamiyah, masyarakat Minangkabau, dan umat muslim Indonesia kehilangan. Suasana berdukacita ini tak akan pernah tertampung kata-kata. Baiknya, saya tutup saja dengan mengajak pembaca semua membaca al-Fatihah, sebagai doa pengantar kepulangan Beliau menuju Keridhaan Allah. Berdasarkan penafsiran yang Beliau ajarkan, bahwa melalui Al-Fatihah, ruh manusia bisa saling terhubung, saling menguatkan dalam doa. Titik kumpul pemahamannya pada kalimat ihdinā siratha al-mustaqīm. Ada dhamir nahnu (kami) pada “ihdinā”. Berkirim al-Fatihah juga merupakan pernyataan, bahwa manusia adalah umat yang satu: tunjuki kami jalan mustaqīm, yakni jalan bagi mereka yang Engkau mampukan mencapai kenikmatan ilahiyah, bukan jalan bagi mereka yang tidak Engkau pantaskan mendapatkan kenikmatan itu. Āmīn.
Yogyakarta, 8 Juni 2020
*Zelfeni Wimra (Alumni MTI Pasia, Tahun Tamat 1999)
Sumber : tarbiyahislamiyah.id