dr.erman

Pemelihara Paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah

Artikel

Reproduksi peranan perempuan dalam pewarisan tradisi kitab kuning di Madrasah Perti memiliki makna penting dalam memelihara dan menyebarkan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Kitab-kitab keagamaan yang disebut dengan kitab kuning dalam sejarah keilmuan Islam tradisional merupaka karya-karya yang ditulis oleh ulama sunni. Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah dalam pengertian etimologi merupakan istilah yang dibangun dari kata ahlu, sunnah dan jamā’ah. Ahlu (ahlun) digunakan oleh masyarakat Arab sebagai istilah menunjukkan makna keluarga, golongan dan kelompok. Sunnah adalah sinonim dari kata hadīṡ yang berati semua perkataan, perbuatan dan persetujuan (taqrīr) Nabi Muhammad SAW. Penggabungan kata Ahlu (اھل) dengan kata Sunnah (سنه) mengalami penambahan huruf alif dan lam (ال) ma’rifah sehingga membentuk kata Ahlu al-Sunnah yang berarti keluarga, kelompok dan golongan yang mengikuti sunnah nabi.
Istilah Jamā’ah (جماعة) mengalami pula penambahan huruf alif dan lam (ال) Ma’rifah dan membentuk kata al-Jamā’ah (الجماعة) yang berarti kelompok atau orang-orang yang mengikuti kebenaran agama, yaitu para pendahulu yang terdiri dari sahabat dan tabi’in. Penggabungan kata Ahlu al-Sunnah dan al-Jamā’ah (الجماعة) dihubungkan dengan huruf waw ‘aṭaf (و) sehingga membentuk istilah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah, yaitu paham keagamaan yang dibangun dengan cara merujuk kepada ajaran yang dikembangkan oleh para pendahulu umat Islam (para sahabat dan tabi’in). Mereka bersatu dalam mengikuti kebenaran agama yang dijelaskan dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi Muhammmad SAW.

Hasyim Asy’ari menyebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah sebagai paham keagamaan yang mengikuti pemikiran teologi Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Manshur al-Maturidi, fiqh Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, serta tasauf Imam Abu Hamid al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Ali Khaidar memberikan definisi yang sama dan menyebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah sebagai paham keagamaan yang mengikuti keyakinan Abu Hasan al-‘Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi dalam bidang akidah. Paham ini juga dibangunan dari pemikiran Empat Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam bidang fiqh. Kemudian dalam bidang tasauf, paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah mengikuti ajaran Imam al-Gazali dan Junaid al-Baghdadi. Definisi yang dikemukakan oleh Hasyim Asy’ari dan Ali Khaidar merefleksikan bahwa paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang berkembang di dunia Islam dikonstruksi dari tiga aspek ajaran Islam, yaitu ilmu tauhid (teologi), fiqh dan tasauf.

Istilah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah mulai dikenal secara luas untuk menyebut salah satu paham keagamaan dalam Islam adalah sejak munculnya aliran teologi Asy’ariyah yang digagas oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260H/873 M- 324H/935 M) pada dasawarsa kedua abad ke-10. Penyebab lahirnya aliran teologi ini berawal dari realitas sosial keagamaan yang melahirkan kegelisahan dalam diri Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang melihat bahaya bagi umat Islam sekiranya mereka ditinggalkan tanpa memiliki pegangan teologi yang teratur setelah aliran Mu’tazilah mengalami masa kemunduran. Sebelumnya Imam Abu Hasan al-Asy’ari merupakan salah seorang teolog yang menganut aliran Mu’tazilah dan murid dari al-Abu Ali Jubba’i, yaitu pemuka dan pemimpin aliran rasional Mu’tazilah cabang Bashrah. Sebelum lahirnya aliran Asy’ariyah, teologi Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wahil bin Atha’pernah dijadikan sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Ma’mun pada tahun 627 yang dilanjutkan oleh dua orang Khalifah Abbasiyah sesudahnya. Pada masa Daulah Abbasiyah berada di bawah pemerintahan khalifah al-Mutawakkil, aliran Mu’tazilah dihapuskan sebagai mazhab resmi negara karena dianggap menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat Islam pasca peristiwa mihnah atau pengujian keyakinan tentang kemakhlukan al-Qur’an yang dilakukan oleh para penguasa.

Penghapusan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara melahirkan beberapa masalah yang berujung pada kemunduran aliran teologi rasional itu. Apalagi mayoritas umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran sangat sulit untuk menerima kebenaran ajaran Mu’tazilah. Kondisi semacam ini kemudian menimbulkan kekuatiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan melihat kemungkinan besar munculnya masalah bagi umat Islam apabila mereka ditinggalkan tanpa memiliki pegangan teologi yang teratur. Karena itu, ia keluar dari Sekte Mu’tazilah dan menyusun paham teologi baru yang populer dengan nama aliran Asy’ariyah atau Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah dan memperoleh dukungan yang kuat dari tokoh-tokoh yang muncul pada masa berikutnya, seperti Abu Bakar al-Baqillani (wafat 1013 M), Imam al-Haramain al-Juwaini (419-478 H), al-Syahrastani dan Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M).

Paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ahdibangun pula dari pemikiran fiqh yang dikembangkan oleh para Imam Mazhab.Salah seorang dari mereka yang memiliki pengaruh besar dalam pembentukan paham tersebut di dunia Islam adalah Abu Abdullah Muhammad al-Syafi’i (Imam Syafi’i).Ia lahir di Gaza Palestina pada tahun 150 H dan memiliki keahlian dalam bidang al-Qur’an, hadits, ushul fiqh dan fiqh. Masyarakat Islam lebih mengenalnya sebagai ulama yang memiliki keahlian dalam bidang fiqh dan pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i memiliki sanad keilmuan yang bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Ia pernah belajar kepada Imam Malik, Imam Sufyan bin Uyainah dan Imam Muslim bin Khalid al-Zanji. Imam Malik sebagai guru Imam Syafi’i adalah murid dari Nafi dan Ibnu Umar yang kedua merupakan sahabat Rasulullah.

Kemudian ulama yang mempengaruhi pembentukan paham Ahlu al-Sunnah al-Jamā’ah adalam Imam al-Ghazali. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang lahir di Ghazalah pada tahun 450 H/1058 M, yaitu daerah yang terletak dekat kota kecil Thus, Propinsi Khurasan, Republik Irak. Imam al-Ghazali mengusai banyak pengetahuan keagamaan dan diakui sebagai filosof, teolog, fuqaha’ dan sufi sehingga populer dengan sebutan Hujjah al-Islām. Ia adalah ulama besar penganut aliran teologi Asy’ariyah dan Mazhab Syafi’i. Salah seorang tokoh Asy’ariyah dengan nama Imam al-Haramain al-Juwaini adalah gurunya yang mengenalkan pertama kali paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah kepada Imam al-Ghazali.

Corak pemikiran tasauf yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali adalah tasauf akhlaki yang dalam banyak hal mempengaruhi pembentukan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah di dunia Islam.Tasauf akhlaqi disebut juga tasauf sunni, yaitu tasauf yang memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan corak tasauf yang lain. Karakteristik itu secara umum adalah menjadi al-Qur’an dan hadits sebagai landasannya, tidak menggunakan terminologi filosofis, mengajarkan dualisme hubungan Tuhan dan manusia, kesinambungan hakikat dan syariat, serta berorientasi pendidikan akhlak. Dalam pandangan tasauf akhlaki, maqām dan ahwāl merupakan suatu hal yang sangat penting yang mesti diketahui oleh seorang sufi dalam mencari jalan kebenaran. Maqām adalah tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui oleh sufi untuk memperoleh suatu keadaan yang mempengaruhi jiwa dan hati para pelakunya, yaitu tobat, zuhud, sabar, syukur, khauf, raja. redha dan lain-lain. Kemudian ahwāl merupakan keadaan tertentu yang dialami oleh jiwa setelah melalui proses tahapan-tahapan maqām.

Imam Abu Hasan al-Asy’ari, Imam Syafi’i danal-Ghazali merupakan tokoh penting yang mempengaruhi pembentukan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Karena itu kitab-kitab yang sejalan dengan pemikiran tokoh-tokoh tersebut menjadi pertimbangan utama untuk dipelajari di Madrasah-Madrasah Perti. Dalam bidang teologi, pemilihan kitab-kitab yang membahas masalah ketuhanan dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya dianggap kompatibel dengan tradisi keilmuan Islam tradisional karena sejalan dengan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang dibangun oleh Imam Abu Hasan Asy’ari. Salah satu pemikiran teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah masalah sifat-sifat Tuhan yang keberadaannya bersifat azali dan melekat pada esesnsi-Nya. Tuhan kata Imam Abu Hasan al-Asy’ari mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan qudrat, hidup dengan hayāh, berkehendak dengan irādah berbicara dengan kalām, mendengar dengan sama’ dan melihat dengan baṣar. Sifat-sifat itu meskipun bersifat azali, namun eksistensinya bukan Tuhan dan bukan pula selain Dia. Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Imam Abu Hasan al-Asya’ari untuk menghindari kesan berbilangnya yang kekal (Ta’addud al-Qudāma’).

Sejalan dengan pemikiran teologi Abu Hasan al-Asya’ari, kitab-kitab kuning yang dipelajari di Madrasah Perti selalu memuat ajaran tentang sifat-sifat Tuhan yang dikenal dengan nama sifat dua puluh. Kitab Al-Aqwāl al-Marḍiyyah yang ditulis oleh Syeikh Sulaiman al-Rasuli menempatkan masalah sifat-sifat Tuhan menjadi prioritas utama dalam kajiannya yang dikenalkan kepada murid-murid di Madrasah-Madrasah Perti. Kitab ini menjelaskan sifat-sifat Allah dalam kerangka pembahasan akidah 50 yang terdiri dari 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil 20 dan 1 sifat harus (jāiz). Pembahasannya dilanjutkan dengan mengemukakan 4 sifat yng wajib bagi rasul, 4 sifat mustahil dan 1 sifat harus (jāiz). Kesan yang sama dijumpai pula dalam kitab Matnu al-Sanūsiyyah yang dikarang oleh seorang ulama sunni dari Maroko, Imam Muhammad bin Yusūf al-Sanūsī (lahir 832 H/1428 M). Ia merupakan seorang ulama Ahlu al-Sunnah wa la-Jamā’ah yang mengikuti mazhab al-Asy’ariyah dalam bidang akidah. Kitab-kitab lain yang dipelajari pada kelas yang lebih tinggi di Madrasah-Madrasah Perti adalah perluasan pembahasan dari kitab-kitab dasar yang telah menguraikan sifat-sifat Tuhan yang kemudian dilengkapi pula dengan kajian tentang kerasulan, kitab suci, malaikat, hari kiamat dan takdir.

Kitab-kitab fiqh yang dipelajari di Madrasah-Madrasah Perti adalah kitab yang berhaluan Syafi’iyah. Pertimbangan penggunaan kitab-kitab itu disebabkan oleh pengetahuan Imam Syafi’i yang luas dan kehati-hatiannya (iḥtiyāt) dalam menetapkan ketentuan suatu hukum. Pemikiran fiqh Imam Syafi’i dianggap moderat dan berada di tengah ajaran imam mazhab lain yang tidak begitu berat atau ringan untuk dilaksanakan oleh umat Islam. Itulah sebabnya kenapa masyarakat Islam di dunia banyak memilih dan mengikuti mazhab Syafi’i dalam bidang hukum (fiqh). Kitab Safīnah al-Najā’, Matnu al-Ghāyah wa al-Taqrīb, Syarh Fatḥ al-Qarīb, I’anāḥ al-Ṭalibīn dan Syarh Qalyūbī wa Umairah yang diajarkan di Madrasah-Madrasah Perti merupakan kitab-kitab fiqh yang ditulis oleh ulama-ulama Syafi’iyah. Syeikh Sālim bin Sumair al-Hadhramīal-Syāfi’ī sebagai penulis kitab Safīnah al-Najā’, secara tegas menyatakan bahwa dirinya adalah penganut mazhab syafi’i.

Kitab-kitab ushul fiqh yang dipelajari di Madrasah Perti diarahkan pula kepada karya-karya ulama Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Kitab al-Waraqāt, misalnya, menempati posisi penting di kalangan ulama sunni karena ditulis oleh Imām al-Juwainī, yaitu seorang ulama Asy’ariyah dan Syafi’iyah yang memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang fiqh, ushul fiqh dan tauhid pada abad ke-11. Kitab Jam’ al-Jawāmi’ yang dikarang oleh Imām al-Taj al-Dīn al-Subkī dianggap sebagai benteng untuk mempertahankan kesinambungan keyakinan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah karena pembahasannya di samping berhubungan dengan kajian ushul fiqh juga menyentuh masalah-masalah tauhid dan tasauf.

Corak pemikiran tasauf akhlaki yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali merupakan pertimbangan utama dalam menentukan kitab-kitab tasauf yang diajarkan di Madrasah-Madrasah Perti. Corak tasauf ini jauh berbeda dengan tasauf falsafi yang muncul sebelumnya karena konstruksi ajarannya memadukan antara pandangan mistis dengan filosofis. Tasauf falsafi yang mulai berkembang sejak abad ke-4 H secara umum dikenalkan oleh para sufi yang juga filosof. Sementara tasauf akhlaki lebih berorientasi pada pendidikan akhlak karena ajarannya dibangun oleh para sufi untuk pengaturan sikap mental dan pendisiplinan perilaku tanpa menggunakan teori-teori dan pandangan filosofis yang rumit. Penggunaan kitab Durah al-Naṣihin, Minhāj al-‘Ābidīn, Syarh al-Hikam, Daqāiq al-Akhbār dan al-Mawā’izh al-‘Aṣfūriyyah yang lebih banyak mengungkap hikayat-hikayat dan cerita-cerita tentang kehidupan dunia dan akhirat merefleksikan woldview Madrasah Perti pada tasauf akhlaki yang merupakan bagian dari doktrin Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah.
Semua jenis kitab kuning yang dipelajari di Madrasah-Madrasah Perti pada dasarnya memiliki haluan Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Proses pewarisannya senantiasa dipelihara dari dahulu hingga sekarang sejalan dengan pertumbuhan dan pergantian generasi.

Reproduksi peranan perempuan dalam sejarah keilmuan Madrasah Perti memiliki arti penting dalam menjaga kelestarian tradisi kitab kuning dan memperkuat upaya pelembagaan dan pewarisan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Upaya itu semakin meluas seiring dengan keterlibatan perempuan dalam mengajarkan berbagai jenis kitab kuning di Madrasah-Madrasah Perti, seperti kitab tauhid, fiqh, ushul al-fiqh, tafsir dan tasauf. Ustadzah Tasliatul Fuad, misalnya, telah mengajarkan ilmu fiqh sejak proses awal sebagai guru di MTI Pasir. Setelah 20 tahun, ia memperoleh legitimasi untuk mengajar kitab-kitab fiqh lain yang lebih tinggi. Ustadzah Ramainas adalah juga seorang ahli ilmu fiqh yang memiliki legitimasi untuk mengajarkan ilmu itu pada tingkatan terakhir (kelas tujuh) di MTI Candung. Setelah masa kemerdekaan, reproduksi peranan perempuan dalam sejarah pewarisan tradisi kitab kuning dan pemelihara paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jamā’ah di Madrasah Perti mengalami peningkatan. Peningkatan itu sejalan dengan kemajuan perempuan yang telah memiliki kualifikasi pengetahuan keagamaan dan keterampilan untuk melibatkan diri dalam sejarah keilmuan Islam tradisional di Minangkabau.

oleh : Dr. Erman

Yuk Bagikan