muhammad-yusuf-el-badri

Setelah FPI Tak Ada Lagi

Salingka Surau

Jakarta -Setelah pemerintah menyatakan Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi terlarang melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) pada 30 Desember 2020, bagaimana potret kehidupan sosial politik dan agama berlangsung di Indonesia?

Sebagaimana diketahui FPI sering kali menyatakan bahwa organisasi yang didirikan oleh Rizieq Shihab itu adalah gerakan penegak amar makruf nahi mungkar, sebuah gerakan ajakan untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran.

FPI pada masa-masa awal sering terlibat dalam penutupan paksa diskotek, pelacuran, sweeping warung makan yang buka siang hari pada bulan puasa, serta razia minuman keras dan tempat-tempat yang diduga menjadi transaksi asusila. Termasuk juga dalam penegakan nahi mungkar itu adalah menyasar pelaku kelompok agama yang dianggap sebagai “aliran sesat” seperti Ahmadiyah.

Dalam praktik nahi mungkar itu tak jarang FPI melakukan tindakan kekerasan dan intimidasi, yang juga tindakan mungkar. Dalam video yang sempat viral belakangan terekam jelas ada seruan bunuh terhadap kelompok aliran tertentu.

Menurut Sekjen FPI Munarman dalam sebuah wawancara (30/11), cara-cara lama itu seperti sweeping tempat hiburan sudah dihentikan sejak beberapa tahun terakhir karena ditunggangi oleh aparat demi uang setoran.

Terhitung sejak 30 Desember 2020, FPI akan terhenti selamanya, tidak hanya aktivitas dakwah nahi mungkar tapi juga penggunaan atribut dan simbol FPI. Dengan keluarnya SKB tersebut, keberadaan FPI akan menjadi momok dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Tanpa diduga-duga siapa saja dapat diadili dan dipenjara karena memakai, menyimpan atau memajang simbol dan atribut FPI.

Alasan Pembubaran

Dalam SKB, alasan pembubaran FPI adalah karena persoalan keamanan, hukum, dan ketertiban umum. Bila pembubaran terjadi dalam rentang waktu 2000-2010, tiga alasan utama itu mungkin masuk akal dan relevan. Tentu saja mengingat aksi FPI masa itu. Tetapi ketika pembubaran terjadi pada masa pemerintahan Jokowi, dengan mudah dapat dit2erka bahwa alasan pembubaran adalah subjektivitas politik.

Sebagaimana maklum diketahui, FPI telah terlibat secara aktif dalam politik kekuasaan sejak masa Pilkada DKI 2016. Kegiatan itu berlanjut hingga Pilpres 2019. Kini, meski calon presiden dan wakil presiden yang diusung pada Pilpres 2019 telah tergabung dalam koalisi pemerintah Jokowi-Makruf, tidak serta merta membuat FPI turut pula mendukung pemerintahan. FPI berdiri sebagai oposisi.

Bagaimanapun keadaannya, tidak berarti bahwa pembubaran FPI ditantang oleh kelompok yang sama-sama beroposisi terhadap pemerintah. Tidak sedikit kelompok oposisi saat ini turut mendukung membubarkan FPI. Kalaupun ada yang menentang pembubaran, penentangan itu hanya riak-riak belaka.

Penjelasan yang paling mungkin kenapa pembubaran FPI didukung oleh masyarakat pro dan kontra pemerintah; pertama, terpuruknya citra FPI karena peristiwa kerumunan di Petamburan. Ketika masyarakat diminta harus berdiam diri di rumah demi mengurai sebaran virus korona, bahkan sebagian mereka kehilangan pekerjaan, FPI justru secara sewenang-wenang berkerumun. Hal itu melukai rasa keadilan masyarakat dan antipati pada FPI.

Kedua, rekam jejak FPI terutama sejak Pilkada DKI 2016 punya andil besar bagi terciptanya ketegangan antarkelompok agama dan etnis. Ketegangan antarkelompok tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi sudah meluas hingga luar Pulau Jawa. Ada beragam penghadangan atas nama kelompok tertentu di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jika konflik antarkelompok terus terjadi, maka hal ini jelas mengancam integrasi dan kerukunan antarwarga negara.

Menarik Diri Sementara

Menjawab pertanyaan awal, bagaimana kehidupan Indonesia di masa yang akan datang tanpa kehadiran FPI? Banyak yang mengira warga negara akan hidup rukun tanpa kehadiran FPI. Mungkin saja dalam konteks politik tensi perpecahan karena agama bakal menurun atau FPI bakal menarik diri sementara dari keterlibatan politik dan bakal kembali ketika momen tertentu.

Perlu diketahui gerakan nahi mungkar atau pencegahan kemungkaran akan terus ada meski tanpa FPI sekalipun. Pencegahan kemungkaran yang dikenal dengan nahi mungkar dalam konteks Islam adalah sesuatu yang mesti dilakukan oleh setiap orang dengan cara apapun sesuai kemampuan masing-masing; dengan tangan (tindakan), lisan (imbauan), atau hati (diam).

Terlepas dari ruang lingkup makna nahi mungkar yang digawangi FPI, tetapi tindakan itu dilakukan atas legitimasi keyakinan atau agama. Sehingga apapun yang dilakukan dirasa sebagai bagian dari keimanan. Konsekuensinya berhenti melakukan nahi mungkar bermakna pengabaian atau ketidakpatuhan pada perintah agama.

Lagi pula objek yang menjadi sasaran penolakan FPI selama ini berupa lokalisasi, pornografi, minuman keras, “aliran sesat” atau sejenisnya mendapat dukungan yang tak sedikit dari umat Islam.

Meski FPI dinyatakan sebagai organisasi terlarang dalam sekejap akan muncul wadah baru untuk menampung ideologi nahi mungkar itu. Bahkan dengan tendensi politik tertentu wadah itu bisa lebih secara politik.

Wadah itu muncul bisa saja bersamaan dengan momen penolakan terhadap “pembelaan’”negara terhadap kelompok agama minoritas seperti Syiah dan Ahmadiyah. Terlepas dari apapun maksud pembelaan itu, setiap orang punya kepentingan penafsiran.

Dengan begitu, setelah FPI dinyatakan terlarang kehidupan sosial keagamaan di republik ini tidak akan berubah sama sekali. Ideologi nahi mungkar mustahil hilang dari Indonesia bila semua kebijakan pemerintah hanya didasarkan pada asas demokrasi semata-mata.

Yuk Bagikan