Oleh Muhammad Yusuf El-Badri
Dalam satu minggu terakhir, saya dibayang-bayangi oleh pertanyaan yang masih saya kira-kira maknanya. Pertanyaan itu dilontarkan oleh Buya Haji Awiskarni dalam suatu pertemuan singkat saya dengan beliau beberapa bulan lalu, di malam Senin ke 89 setelah kepulangan beliau.
Karena pertanyaan itu terus mengusik saya dan kebetulan tahun ini saya memang berencana shalat hari raya di kampung halaman, muncullah satu pikiran. Alangkah baiknya saya tanyakan langsung makna ucapan Buya Haji Awiskarni itu pada Syekh Nurdin. Lalu saya berdoa, semoga Syekh Nurdin senantiasa sehat sehingga saya bisa bertemu dan mengulang kaji lagi pada beliau untuk beberapa hari. Tentu saja selama saya di Bukittinggi.
Sejak malam itu hingga selesai shalat zuhur pikiran saya agak tenang. Saya telah menemukan jalan untuk tahu apa yang menjadi beban pikiran selama satu minggu terakhir. Kurang dari 24 jam setelah azam itu saya patrikan menjadi niat, Tuhan yang Mahakasih berbuat sekehendak-Nya.
Pukul setengah dua siang hari Minggu, (24/4/22) Anak beliau, Haji Yahdi mengabarkan Syekh Nurdin berpulang. Inna lillah. Hanya itu yang bisa saya ucapkan. Jantung saya berdegup kencang. Nafas saya sesak. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya coba menulis apa yang bisa dikenang dari Syekh Nurdin, Guru Tuo yang mulia dan sangat saya cintai. Baru mulai menulis satu dua kata, mata saya sudah sabak.
Lalu saya berusaha menenangkan diri. Menarik nafas dalam-dalam. Dan mengalihkan perhatian ke langit-langit kamar. Sambil menahan gelombang air mata agar tidak pecah lantas mengucur. Semakin kuat saya bertahan semakin kuat pula gelombang itu mengamuk. Jiwa saya lemah di hadapan Guru Tuo Syekh Nurdin. Di tengah siang saya kehilangan semangat menulis.
Syekh Nurdin Sepengetahuan Saya
Pagi hari ini, Senin (25/4) saya akan menceritakan apa yang saya ketahui tentang Syekh Nurdin. Pertemuan saya terakhir dengan Syekh Nurdin adalah ketika memperingati 1 tahun kepulangan Buya Haji Awiskarni Husin. Buya Arrazy Hasyim saat itu datang berkunjung ke rumah Syekh Nurdin di Batutaba. Saya ikut dalam rombongan itu.
Singkat cerita di rumah beliau kami berbincang santai dan Buya Arrazy menyempatkan diri untuk mengambil ijazah sanad kitab Ianatu al-Thalibin dari beliau. Di tengah obrolan itu beliau bertanya. Beberapa pertanyaan yang saya ingat adalah kenapa shalat tarawih 20 rakaat, kenapa harus pakai peci atau kupiah, kenapa harus pakai sarung. Lantas Buya Arrazy bertanya balik, kira-kira kenapa Buya?
Syekh Nuridn lalu menjawab dengan lugas persis sebagaimana redaksi yang tertulis dalam kitab ,-saya tidak hafal redaksinya. Kaji mesti diujung lidah, ucap beliau yang lantas berdiri dan menjemput kitab ke dalam kamar. Ini yang saya sebut tadi, ujar beliau sambil membalik-balik beberapa halaman kitab.
Tak lupa pula beliau memperlihatkan sebuah foto ukuran kecil yang terselip di kitab itu. Gambar di foto itu seingat saya adalah Syekh Sulaiman Arrasuli. Kata beliau, “dulu kitab ini saya pelajari kepada Buya Husin, (Syekh Husin Amin), dan sekali seminggu pergi juga belajar kepada Inyiak Candung (Syekh Sulaiman Arrasuli)”.
Saya takjub dengan kekuatan ingatan beliau, bahkan di usia yang sudah sangat sepuh, 94 tahun. Pantas dulu ketika beliau masih aktif mengajar, tak sekalipun beliau membawa dan memegang kitab yang kami pelajari.
Penting saya sebut di sini. Melalui Syekh Nurdin, kami di MTI Pasia waktu itu diajarkan tafsir Jalalain, Durratun Nasihin dan tauhid. Hal yang paling saya ingat selama belajar dengan beliau adalah bacaan bismilah puluhan kali dalam sekali belajar. Beliau baca bismillah, lalu membaca satu kalimat dari kitab dan beliau membaca bismillah lagi untuk menerangkan maksud dari kalimat yang dibaca. Lantas membaca bismillah lagi untuk membaca kalimat lebih lanjut. Begitu seterusnya.
Di sela-sela penjelasan kaji beliau selipkan ungkapan yang entah itu bermakna peringatan, motifasi atau upaya membangkitkan kepercayaan diri, ataukah harapan dan doa untuk kami yang sedang belajar. Tak jarang kami yang sedang belajar disuruh menghafalkan ungkapan serupa pantun itu. Kata beliau, dari subarang ka subarang — tatangguang talingo lintah — hati tarang mato tarang — kaji tasurek di ujuang lidah.
Hal lain yang juga sangat lekat dalam ingatan saya adalah kebiasaan beliau yang selalu pakai sarung ketika mengajar. Syekh Nurdin adalah satu-satunya guru yang selalu pakai sarung ke manapun beliau pergi, ke pasar, ke sawah, bahkan ke luar kota seperti Jakarta. Tentang masalah ini, rasa penasaran saya belasan tahun lalu akhirnya terjawab dalam pertemuan dalam rombongan Buya Arrazy itu.
Setelah menutup kitab Ianah, tiba-tiba beliau bercerita “saya kemana-mana pakai sarung. Ke pasar, ke sawah, naik pesawat. Pokoknya kemana saja”. Salah seorang dari kami bertanya, saya lupa siapa. “kenapa Buya?”
“Dulu waktu awal-awal belajar pada Buya, (Syekh Husin Amin), saya pakai celana panjang. Lalu Buya memanggil saya dan beliau marah,” ujar beliau mengenang peristiwa puluhan tahun itu. “Kata Buya, besok jangan pakai celana panjang lagi. Harus pakai sarung. Sejak saat itu saya tidak berani pakai celana panjang. Saya takut Buya marah pada saya”, kata beliau.
Mendengar jawaban itu, saya benar-benar terharu. Dalam hati saya berkata, “begini ternyata ketinggian adab Syekh Nurdin pada guru beliau”. Saya merasa bukan siapa-siapa di hadapan beliau. Syekh Nurdin benar-benar memegang teguh ajaran guru beliau dan tak dilepas barang sesaat bahkan di saat guru beliau itu, Syekh Husin Amin sudah tiada puluhan tahun berlalu dan beliau sendiri sudah menjadi guru pula dan berusia sangat sepuh.
Dari sebanyak kaji (ilmu) yang beliau tumpahkan pada kami waktu itu, saya punya kesimpulan bahwa Syekh Nurdin tidak hanya paham dengan kaji tapi juga menghafal dengan sangat baik apa-apa yang beliau pelajari sedari kecil. Lebih dari itu Syekh Nurdin adalah seorang ulama yang istiqamah berpegang pada kaji yang beliau pelajari dan punya adab yang tinggi pada guru.
Meski niat saya untuk bertemu dengan beliau di akhir puasa tahun 1443 H ini tidak dikabulkan oleh Allah yang Maha Mendengar, saya berdoa beliau datang barang sekali dalam tidur saya, sekadar melepas rindu. Alfatiha
Pasaman, 25 April 2022 bertepatan dengan 24 Ramadhan 1443 H